Minggu, 07 Februari 2010

Saat Kita Mulai Melangkah

SAAT KITA MULAI MELANGKAH

Ku pinang engkau dengan Al- qur’an
Kokoh dan suci ikatan cinta
Tambatan hati penuh marhamah
Arungi bersama samudra dunia
( gradasi )

Tawakkal itu.. saat kita tak mengerti bagaimana kapal ini kan kita kayuh, tapi kita yakin pada Yang menggerakkan angin dan mencipta gugus bintang, sehingga kita punya arah menentukan langkah. Yakin itu..saat kita melangkah tanpa bekal yang melimpah, hanya sejumput tekad, tapi kita yakin bahwa saat kaki mengayuh ada Dzat yang tak pernah lengah menemani dan memberi.
( Putri Q A)


Dalam hidup ini, bahagia tidaknya kita, kita sendiri yang menetukan, rasa kekhawatiran dan rasa takut yang membayang tak perlulah ada. Rasa resah dan gelisah yang berkepanjangan, tak perlu di perlama.
Kasih, aku salut padamu.. masih ku ingat dengan bekal kesederhanaan kau ungkapkan kesungguhanmu padaku. Tanpa panjang kata kau buktikan sebuah ungkapan sederhana.
Kasih, maafkan aku bila benih – benih keraguan itu terkadang masih berkelebat di benakku, tentu membuat langkah ini semakin tersurut atau bahkan berhenti sama sekali. Rasa takut dan cemas, bila berfikir bagaimana mungkin kapal ini bisa dikayuh. Tapi keyakinanmu untuk menyempurnakan separuh dien adalah tekad yang baja. Keyakinanmu bahwa rizkiNya akan datang adalah implementasi dari rasa syukur dan tawakal. Dan itu yang menjadi pemantik semangat untuk terus menumbuhkan keyakinanku.
Subhanallah… dan akhirnya kita memutuskan untuk berkelana, mengarungi lautan, menyusuri jalanan, tanpa bekal apapun, kecuali sejumput tekad untuk menyempurnakan dien dan setangkup keyakinan bahwa Allah pasti bersama kita.
Maka jadilah pernikahan kita, sperti sesuatu yang tak masuk akal, jika kita memasukkannya dalam garis akal manusia, sesuatu yang tak terpikir oleh rasio, tapi justru menjadi sangat logis jika kita berfikir dengan ruang pikir yang lain.
Tapi sungguh, keyakinan kita adalah batu bara yang terus memberi energi, menggerakkan, bahkan membuat bahtera ini sampai pada tujuan. Bukankah Allah telah berfirman “ Dan barang siapa bertawakkal padanya, nisaya Ia akan mengadakan baginya jalan keluar, dan memberinya rizki dari arah yang tdak di sangka – sangka.”
Kasih, maka di hari ini, saat kita ikrarkan janji suci untuk mengayuh bahtera itu bersama, aku ingin kita berhenti sejenak, kembali menghirup nafas dan mengumpulkan energi, bahwasanya tawakkal itu tidak hanya saat kita mulai melangkah, tapi juga di tengah perjalanan langkah, bahkan di penghujungnya.
Kasih, perjalanan ini kan kita mulai dengan menanam benih – benih kebaikan, mencabut rumput – rumput ketamakan, keraguan dan kecemasan. Mengairinya dengan mata air kesabaran dan keteguhan, dan menyuburkannya dengan totalilas kepasrahan pada Dzat Yang Maha memberi. Kelak , pasti kan kita petik buahnya dan menikmati bahagianya mencintai.
Kasih, sekali lagi aku salut padamu. Sepertinya terlalu tergesa – gesa rindu ini menemui masanya. Tapi disitulah berkah menanti. Sakinah, mawaddah, wa rahmah menjadi janji, bagi siapa saja yang menjalaniya dengan tulus dan ridho. I love you just the way you are.. semoga cinta kita akan terus mengalun, menjadi pemantik utuk selalu bersyukur atas segala nikmatNy
MERAJUT CINTA MENUJU RIDLONYA

Cinta itu kesiapan memberi !! memberi jiwa, segenap perhatian, bahkan pengorbanan. Cinta itu seperti bingkai, mencipta rasa, merangkum romantika perjuangan. Maka cinta padanya dan rindu wangi syurgaNya akan terus menyala, memantik karya dan amal nyata, meminta perwujudan dan eksistensinya.
( Putri Q A )

Rabb.. kokohkan iman kami
Teguhkan langkah kami
Dan suburkan rasa cinta kami
Hanya untukmu
( Putri Q A )
Kasih, pertemuan kita dengan segala peristiwanya yang mengagumkan adalah sesuatu yang di gariskan. Jalan kehendaknya yang terhampar begitu panjang menjadi sebuah pentas yang akan kita lakoni bersama, dalam suka atau duka. sedih atau bahagia menjadi babak – babak baru kehidupan dengan segenap sisinya.
Kasih, kebersamaan kita adalah kepastian yang telah di tuliskanNya. Maka setiap waktu yang melaju hendaknyalah selalu kita isi dengan ketaatan padanya. Seyogyanya pagi selalu kita awali dengan syukur dan tadabbur, karena hubungan kholiq dan mekhluqNya mengukuhkan keyakinan, menghilangkan kekhawatiran, dan menghapuskan kesedihan.
Kasih, kehendaknya adalah kepastian. Tapi memilih dan memilah realitas merupakn hak kita sebagai hambaNya. Saat kita memilih ingin menuai benih kebahagiaan, maka taburlah bibit kebaikan. Demikian Alloh membalas setiap biji amalan yang kita tanam.
Kasih, aneka warna peristiwa tak selalu mudah di cerna, apalagi untuk mengambil hikmahnya. Betapa banyak peristiwa yang melintas begitu saja, tanpa sedikit pun keinginan untuk menoleh dan peduli dengan apa yang terjadi. Mata tetap saja menatap, tapi pandangannya tak sempurna. Telinga tetap mendengar, tapi sedikit sekali yang mampu dicerna dan difahami. Itu sebabnya, mengapa kita butuh mata hati untuk menuntun jejak kaki.
Kasih, mari kita belajar memaknai setiap detik yang bergulir. Agar keberadaan mata, tak hanya menjadi jendela jendela dunia, tapi juga mampu membuka jendela jiwa, agar seberkas cahaya selalu meneranginya. Mari kita belajar merangkum setiap peristiwa dan mengambil hikmahnya, agar kita tak seperti rumpur ilalang yang tumbuh liar di pelataran kasihNya.

Muhasabah Cinta

Bismillahirrohmanirrohim

Kepadamu ya Rabb,Tempat bersandar dan berpeluh. Ijikan aku lantunkan tembang syukur tak terhingga. Kini tiba saat berlabuh, detik terindah, sepanjang perjalanan langkah. Detik termahal, karena energi jiwa kita hampir terkuras sepenuhnya. Inilah saatnya cinta bertutur kata, menelisik hingga relung yang paling dalam, takkan pernah cukup kata merangkum seluruh rasa, hanya keagunganMu yang mampu mewakilinya…
Subhanallah wal hamdulillah……
Kepadamu cintaku, tempat aku kan berguru, pada bening di kedua matamu, pada ketulusan kasihmu, pada cerahnya senyummu, dan dialog – dialog yang mengalir penuh makna.
Terimakasih atas segala kepercayaan, semoga tak pernah berkurang. Ikatan cinta yang telah ditautkan, semoga ialah pertemuan di dunia dan peraduan kasih di akhirat sana.
Percikan Taujih




SAAT DUA HATI MENYATU

“ maka nikmat tuhanmu yang manakah yang hendak kamu dustakan. Apa yang ada di langit dan di bumi selalu meminta padanya, setiap saat Dia dalam kesibukan.”
(( Q.S Arrahman : 28 -29 ))

Syukurku pada Tuhan
Atas indahnya ikatan suci di antara kita
Ingatkan kebenaran dan kesabaran
Menuju cinta illahi yang hakiki

Rasa syukur itu sepatutnya kita panjatkan pada Illahi Rabbi atas segala nikmat dan karuniaNya, atas hembusan ikatan suci yang di anugrahkanNya. Rabbi..auzi’’ni an asykura ni’matakallati an’amta alayya wa ala walidayya…
Ya Rabb.. perkenankan hamba memintal untaian syukur tak terhingga, memadukan simpul – simpul taubat, merangkai bunga dzikir dan doa ke hadiratMu.
Ya Rabb.. segala puji bagimu, Berkenan mempertemukan kami, mengikat tali suci, dalam kesakralan janji.
Kasih, penantian bagi kita adalah hal yang teramat menjemukan. Menanti saat – saat berbagi dan melerai kasih antara kita bukan hanya sebatas hitungan jari. Segenap luahan hati telah kita rasakan bersama, rasa rindu, cinta yang tertahan, bahkan debar – debar waktu semakin tak menentu seiring berjalannya waktu.
Kasih, rasa cemas dan kegelisahan ini menjadi bukti, bahwa kita tak memiliki daya apapun kecuali sebatas rencana dan upaya. Bukti bahwa kita tak ada apa – apanya dibanding kehendakNya. Bukti bahwa 99 % usaha manusia mampu terkalahkan oleh 1% kehendaknya. Maka setiap detik penantian kita adalah doa dan harapan. Setiap waktu yang bergulir adalah memohon agar di permudah dan di perlancar segala urusan kita.
Kasih, di hari penuh makna ini, saat kita ikrarkan diri untuk tetap teguh dan terus bersama di jalannya, menjalani hari yang kita harapkan sakinah, mawaddah wa rahmah, janganlah sampai kita lupa bahwa ini adalah karuniaNya, nikmat dan anugrahNya.
Kasih, semoga lantunan syukur yang sederhana ini bisa mewakili bait NikmatNya yang begitu agung. Lain syakartum la azidannakum wa lain kafartum inni ‘adzabii la syadiid.

Ajari Aku Cinta

Sebait Ayat Cinta


“ Dan di antara tanda – tanda kekuasaannya ialah Ia ciptakan untukmu isteri – isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan di jadikanNya di antara kamu rasa kasih dan sayang, sesungguhnya pada yang demikian itu benar – benar terdapat tanda – tanda bagi kaum yang berfikir “
(( Q. S. Ar – Ruum : 21 ))
“ Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dengan sebenar – benar takwa kepadanya, dan janganlah sekali – kali kamu mati melainkan dalam keadaan islam “
(( Q. S. Ali imran : 102 ))

“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menjadikan kamu dari jiwa yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan pasangannya, dan dari padanya Allah memperkembang biakkan keturunan laki – laki dan perempuan, dan bertakwalah pada Allah yang atas namanya kamu saling meminta satu sama lain, dan perihalah hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kamu “
(( Q. S An – nisa : 1 ))


Teruntuk Separuh Jiwa


Menatap binar matamu
Sejenak ku mengerti tentang arti sebuah pertemuan
Dalam ikatan kasih
Yang simpulnya mengikat begitu erat

Menatap seutas senyummu
Sejenak ku pahami tentang arti memiliki
Merangkai bening asa meretas rindu
yang bergemuruh dalam hatiku dan hatimu
Dalam pendar rasa yang tersisa
Ijinkan aku mengabarkan senandung cinta
Yang menemui masanya
Mencipta ruang dalam jiwa

Dalam denting waktu yang terentang
Ijinkan aku melabuhkan separuh jiwa
Menyemai kerinduan yang mekar berbuah syurga
Bersemi dalam jiwaku dan jiwamu



Dzulkifli Hadi Imawan
& Putri Qurrota A’yun

Menikah, kenapa takut?

Menikah, Kenapa Takut?
Oleh: DR. Amir Faishol Fath


Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?

Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.

Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.


Menikah itu Fitrah

Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. “Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. “Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah” (Al-Ahzab: 62). “Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu.” (Al-Isra: 77)

Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.

Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.

Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.

Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.

Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. “Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina” (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.

Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.

Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”




Menikah Itu Ibadah

Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)

Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah.

Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.

Pernikahan dan Penghasilan

Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?

Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.

Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.

Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.

Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat” iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui” (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.

Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.”
Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).

Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)

Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.

Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.

Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.

Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.

Pernikahan dan Menuntut Ilmu

Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.

Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya.
Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.

Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.

Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.

Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.

Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.

Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.

Dakwah sebagai pilihan hidup

DAKWAH SEBAGAI PILIHAN HIDUP

Ketika kita berkomitmen menjadikan dakwah sebagai pilihan hidup, kita membutuhkan dua hal; pertama jiddiyah (kesungguhan) dan yang kedua indibath (kedisiplinan).

Sebagaimana kalau kita telah mantap dengan pasangan hidup kita, kita akan berusaha mencintai, menyayangi, memperhatikanya bahkan mengorbankan sesuatu untuk bisa memperoleh cintanya, dan itu adalah kebahagiaan tersendiri. Dengan menjadikan pernikahan sebagai madrasah untuk saling belajar menjadi lebih baik. Karena tidak mungkin orang itu sempurna keseluruhannya, pasti ada sebuah aib yang melekat padanya, karena itulah pentingnya belajar dari pasangan untuk berubah menjadi lebih baik dan menutup kekurangan. Begitu juga dakwah, kalau kita mencintai dakwah kita akan merasa ringan ketika kita melangkahkan kaki di jalan dakwah, bahkan rela berkorban jiwa, harta untuk tegaknya kalimatullah.

Ada beberapa sifat sebagai tolak ukur benarnya kesungguhan yang ada dalam hati kita:

1. Alfauriyah fittanfidz (bersegera melaksanakan), seorang dai ibarat dokter. Ia akan segera tergerak untuk mengobati pasien dengan harapan cepat sembuh. Begitu juga dai, ketika melihat ummat membutuhkan pencerahan, maka dai harus segera menjelaskan masalah yang sedang ummat hadapi sesuai denga apa yang ada dalam alqur’an dan assunnah.

2. Quwwatul irodah (keinginan atau tekad yang kuat), seorang dai tidak hanya memfikirkan apa yang terbaik untuk diri dan keluarganya semata, tapi harus lebih dari itu. Ia harus selalu berfikir apa yang terbaik untuk kemaslahatan ummat. Membimbing, mengarahkan dan memberi nasihat untuk menjadikan umat yang mengamalkan islam dalam kehidupan sehari-hari, bukan sebatas teori. Keinginan atau tekad yang kuat tak akan luntur oleh rintangan, dan tak akan pudar oleh zaman. Sebagaimana pepatah arab mengatakan “kun rojulan himmatuhu fi tsuroyya, wa rijluhu fi tsaro” jadilah laki-laki yang keinginannya di bintang (tinggi) sedang kakinya di atas tanah”. Dalam artian keinginan kita harus tinggi tapi harus sesuai dengan realita, atau bermimpilah asal jangan jadi pemimpi. Bersumber dari keinginan yang kuat, ia akan berprinsip “saya akan hidup dimana saja, dimana saya dibutuhkan ummat, dengan kata lain hidupnya hanya untuk berdakwah kepada allah azza wa jalla untuk memperbaiki ummat (ishlahul ummah).

3. Mutsabaroh ‘ala addakwah (terus-menerus berdakwah), dakwah tak kenal kata berhenti. Karena berhenti berdakwah berarti kematian bahkan kehancuran bagi ummat. Maka seorang dai dituntut untuk terus beraktifitas dan berfikir di jalan dakwah. Waktu sangatlah sedikit sedang tugas yang harus dipikul begitu banyak. Bahkan imam hasan albanna mengatakan “Seandainya waktu bisa dibeli, maka aku akan membeli waktu orang-orang yang menganggur”. Sebagaimana firman allah swt “fa idza faroghta fansob” maka apabila kamu telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan, kerjakanlah yang lain. Pernah malaikat jibril datang kepada rosulullah saw dan berkata kepadanya, kenapa engkau meletakkan pedangmu, padahal kami masih menghadapi musuh, keluarlah, allah telah mengijinkan kamu untuk memerangi bani quraidhoh”.

4. Taskhiru atthoqoh (mengerahkan potensi), setiap orang mempunyai potensi yang berbeda, ia lebih tahu potensi yang ada pada dirinya daripada orang lain. Dalam berdakwah kita dituntut untuk mengerahkan semua potensi yang ada dalam diri kita. Ilmu yang kita pelajari adalah potensi yang sangat agung, karena ialah ilmu syar’i. Ilmu tidak akan berarti kalau tidak diajarkan kepada orang lain bahkan ia hanya akan menjadi belenggu dan sumber kehinaan bagi dirinya. Tapi ilmu akan bertambah dengan mengamalkanya, menjadi kebahagian tersendiri kalau ilmu kita bermanfaat bagi orang lain.

5. Mugholabatul a’dzar (berusaha mengalahkan udzur/ alasan), betapa banyak rintangan dakwah, bahkan banyak rintangan itu berasal dari keluarga, anak, istri, harta dan pekerjaan. Sebagaimana allah swt berfirman “innama amwalukum wa auladukum fitnah” sesungguhnya harta-harta dan anak-anak kalian adalah ujian. “inna min azwajikum wa auladikum aduwan lakum fakhdzaruhum” . janganlah kita membiarkan alasan-alasan kecil memberatkan kaki untuk melangkah berdakwah atau mencari ilmu, karena kalau kita terbiasa dengan alasan, maka kita tidak akan mampu mencapai hasil yang memuaskan, tapi sebaliknya, kita akan merasa berat bahkan meninggalkan tugas dakwah. “nahnu jama’ah ‘azimah wa lasna jama’ah rukhsoh”.

Yang kedua, Indlibath (kedisiplinan). Ada beberapa hal yang harus kita disiplinkan dalam mengarungi samudra dakwah. Kedisplinan itulah yang akan menjadikan kita kuat, teratur dan semakin menjadi lebih baik. “al haq bila nidom yaghlibuhul bathil binidom”

1. Indlibath syar’i, mulai mengamalkan ilmu syar’i yang telah kita pelajari dan bagaimana kita untuk berkomitmen secara utuh. Islam bukanlah sebatas teori. Alqur’an dan assunnah tidak akan tersebar dengan sedirinya tapi harus ada penggeraknya, dan kitalah penggeraknya. Lihatlah bagaimana para sahabat ketika belajar dari rosululllah saw, mereka tak hanya menghafal alqur’an dan assunnah tapi mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka tidak akan menyuruh berbuat baik sampai mereka memberikan contoh dengan menjadikan diri dan keluarga mereka sebagai teladan yang patut ditiru. Keluarga adalah cermin seseorang. Bagaimana ia berdakwah mengajak orang lain menegakkan kebenaran kalau keluarganya jauh dari tarbiyah islamiyah. Sungguh ironis tapi inilah yang saat ini, telah melanda orang-orang yang mengaku sebagai juru dakwah. Menipu ummat dengan penampilan berjubah dan bersorban. Mereka mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan tanpa ada rasa takut kepada Allah swt sedikitpun. Tujuan mereka adalah dunia dan mencari sensasi. Na’udzu billah min dzalik.

2. Indlibath khuluqi, sebagaimana sabda Rosulullah saw, “innama bu’istu liutammima makarimal akhlaq” hanyalah saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq. Kenapa hanya akhlaq? Bagaimana dengan akidah dan syariah? Akhlaq adalah asasi. Syariah dan aqidah harus dilandasi dan dibarengi dengan akhlaq. Semisal contoh apabila seorang melakukan thowaf (salah satu syariat dalam haji) tidak dibarengi dengan akhlaq maka dia akan mengutamakan dirinya supaya bisa berjalan di keramaian jamaah haji meski harus menyakiti orang sekitarnya dengan menyikut, menginjak, bahkan mendorong-dorong di depannya hingga terjatuh. Begitu juga dakwah kepada tauhid atau akidah harus dibarengi dengan akhlaq, sebagaimana rosulullah saw ketika menyeru kafir quraisy hanya untuk menyembah allah swt, dilarang allah swt untuk mencela berhala-berhala yang mereka sembah. Menghormati pamannya meskipun tidak mau beriman hingga akhir hayatnya. Dan allah telah menjelaskan dalam surat alhujurot bagaimana seharusnya kita bersosialisasi dengan masyarakat. Karena kita hidup tidak sendiri, tapi bermasyarakat. Sebagaimana firman Allah azza wa jalla “wa lau kunta faddon gholidolqolbi lanfaddlu min khalik” . Maka perlunya kita menelaah kembali surat alhujurat dan tafsirnya.

3. Indlibath Amali, hendaklah kita dalam beramal mempunyai visi dan misi. Terlebih dalam memandang masa depan. Dengannya kita akan tergerak untuk berusaha mewujudkannya.

4. Indlibath Tarbawi

5. Indlibath Tandhimi, kita harus masuk dalam struktur jamaah dakwah. Apapun peran yang dipilihkan untuk kita. Karena orang yang sendirian adalah lemah, tapi dengan berjamaah dia menjadi kuat. Sebagaimana rosulullah saw bersabda “ innama ya’kulu addzikbu minal ghonam alqosshiyah” srigala hanya memakan kambing yang sendirian. “yadullah maal jamaah”